Maklum, di ajang bergengsi bagi insan perfilman Indonesia itu, putra bungsu penulis cerita silat Bastian Tito ini, dinobatkan sebagai aktor terbaik melalui perannya sebagai Radit dalam film Radit dan Jani garapan sutradara Upi Avianto. Namun, meski gembira, aktor kelahiran Jakarta 24 Maret 1982 itu, tak meluapkannya secara berlebihan.
Sebaliknya, ia justeru menganggap keberhasilannya meraih Piala Citra itu, sebagai sebuah awal masa pembelajaran di dunia seni peran. “Gembira sih gembira, karena piala ini adalah award bergengsi yang tertinggi di Indonesia. Dan bagi aku, ini adalah sebuah tantangan baru, bagaimana aku bisa lebih baik lagi. Artinya, ini adalah sebuah lembaran baru untuk memacu aku belajar lagi,” papar Vino saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/12) malam.
Tapi kalau Vino merasa kaget dengan keputusan dewan juri, itu bisa dimaklumi. Pasalnya, saingan aktor yang tahun lalu membintangi remake film Badai Pasti Berlalu itu, juga nama-nama yang selama ini dikenal sebagai aktor berkualitas. Sebut misalnya, Nicholas Saputra, Dony Alamsyah, Aming, serta Yama Carlos. “Aku sendiri sebenarnya, nggak punya target untuk dapat award,” tuturnya.
Namun, meski tak ada target menjadi yang terbaik bukan berarti Vino hanya bermain apa adanya. Justeru sebaliknya, ia berusaha keras bermain secara total. Misalnya, demi perannya sebagai Radit – seorang seniman pecandu narkoba – Vino rela bergaul dengan para pemakai barang haram itu.
Tak hanya bertandang ke tempat hiburan dimana mereka biasa berkumpul, tetapi Vino juga harus blusukan ke tempat yang kerap dijadikan transaksi. Malah, tak jarang, ia harus menemani para pecandu itu di saat mereka sakaw.
“Aku juga melakukan survei selama satu bulan. Untungnya ada satu teman dekatku mantan pecandu, dialah yang membantuku. Padahal, aku sebelumnya sekali saja belum tahu rasanya narkoba,” jelasnya.
Begitu pun dengan untuk adegan lainnya. Ia tak segan-segan bertanya kepada orang-orang yang dianggap senior, atau diskusi langsung dengan sang sutradara, Upi Avianto.
Hanya memang, Vino mengaku tak bisa meredam kekecewaannya saat lembaga sensor menggunting beberapa adegan yang telah dengan susah payah ia lakoni. Padahal, menurutnya, keberadaan adegan tersebut untuk menguatkan karakter tokoh yang ia perani dalam cerita film itu.
“Disitulah aku merasa kecewa dan sedih sekali. Seolah-olah kerja keras dan berusaha bermain total dibuang begitu saja,” tandasnya.
Kekecewaan mantan model ini sedikit terobati saat ia dinobatkan sebagai aktor terbaik dalam ajang FFI 2008. Tapi, bukan berarti ia merasa puas. “Ini baru awal, untuk belajar,” ujarnya.
Yang terang, Vino merasa tertantang untuk menggali kemampuannya melakoni sebuah peran. Ia pun ingin mencoba berbagai karakter, termasuk memerani karakter penjahat. “Aku juga pingin bermain di film komedi, sehingga benar-benar belajar mengasah kemampuan agar tidak stagnan,” akunya.
Lebih dari itu, dengan melakukan pengembaraan di berbagai peran dalam dunia seni peran itu, ia merasa akan menjadi insan perfilman yang sebenarnya. “Itulah, arti Piala Citra yang aku terima. Sebagai sebuah permulaan,” sebutnya mantap.
Labels: